Abstract:
Tanah Papua, propinsi Papua dan Papua Barat, memiliki keanekaragaman potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK) sangat tinggi, meliputi komoditas nabati, hewani, dan keunikan sosial budaya, serta praktek-praktek kearifan lokalnya. Dengan kondisi biogeografi/landscap yang beragam dan unik, masyarakat di daerah pegunungan, memiliki interaksi dengan alam sangat berbeda dengan mereka yang berdomisili di lembah, kawasan hutan mangrove, rawa, dan dataran rendah. Masing-masing etnik memiliki praktek-praktek kearifan lokal yang unik, termasuk dalam memanen,
, dan memanfaatkan komoditas HHBK yang berada disekitarnya.
Secara nasional, prioritas pengembangan dan pembudidayan HHBK diarahkan kepada komoditas Rotan, Bambu, Lebah madu, Sutera alam, Gaharu, dan buah Nyamplung. Selanjutnya masing-masing daerah diberi keluasaan untuk mengembangankan komoditas unggulan propinsi dan lokal (kabupaten dan kota) berdasarkan kondisi dan potensi HHBK setempat. Dengan memperhatikan kondisi biogegrafi tanah Papua, dan kriteria ekonomi, biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial dan teknologi, maka pengembangan komoditas unggulan daerah atau propinsi di Tanah Papua tetap berpedoman kepada praktek-praktek pemanfaatan HHBK berbasis kearifan lokal (local wisdom), sosial budaya masyarakat lokal, dan biogeografi setempat. Tulisan ini menjajikan beberapa komoditas HHBK dominan di Tanah Papua, praktek-praktek kearifan lokal dalam pemanfaatan HHBK, dan pengembangan komoditas unggulan HHBK di Tanah papua menurut tujuan pemanfaatan dengan berbasis kepada kearifan lokal.
Berdasarkan sifatnya, komoditas HHBK di tanah Papua dikelompokkam kedalam dua kelompok besar, yaitu komoditas HHBK yang dapat ditentukan nilainya (tangible products), seperti Sagu (Metroxylon sago Rottb), Buah Merah (Pandanus spp), dan komoditas HHBK yang tidak dapat ditentukan nilainya (Intangible product) atau kelompok jasa (forest services). Praktek-praktek kearifan lokal (307 suku dengan 300 bahasa) dan dipadukan dengan keunikan biogeografi setempat adalah potensi kelompok jasa (potensi ekoturusime) yang sangat menjanjikan untuk dikembangkan. Prinsip 3S, Sungai, Sampan dan Sagu adalah philosophy hidup bagi masyarakat adat di Mimika (Mimikawee), yang mana berdomisili pada kawasan hutan mangrove dan rawa dataran rendah. Kawasan mangrove di bagian selatan Papua adalah penyimpan karbon terbesar di tanah Papua, dan sedang dicanangkan untuk gerakan Indonesia Hijau. Masyarakat lokal di Tanah Papua didominasi oleh masyarakat peramu dengan sistem pertanian subsisten dan nelayan. Dengan kondisi tersebut, pengembangan komoditas HHBK dominan di tanah Papua, berdasarkan tujuan pemanfaatannya dapat dikelompokkan kedalam enam kelompok, yaitu kelompok bahan makanan pokok (staple food), sayur-sayuran (vegetable), Tumbuhan obat (medicinal plant), Kerajinan (handicraft), Sumber pendapatan alternatif (altrnative income sources), dan Bahan bangunan, kayu bakar, dan energi (wood for contruction and energi).