Fakultas Kehutanan
http://repository.unipa.ac.id:8080/xmlui/handle/123456789/123
Berisi laporan penelitian dan artikel dosen Fakultas Kehutanan2024-03-28T19:05:03ZFungsi Dan Manfaat Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni Bagi Masyarakat Sekitarnya
http://repository.unipa.ac.id:8080/xmlui/handle/123456789/1246
Fungsi Dan Manfaat Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni Bagi Masyarakat Sekitarnya
Cagar Alam Teluk Bintun (CATB) meliputi area seluas 12.850 hektar dan merupakan rumah bagi sekitar 160 spesies burung, lebih dari 17 marsupial dan sekitar 39 spesies mamalia. Pola pemanfaatan kawasan CATB tidak terlepas dari kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kelompok masyarakat yang mendiami wilayah tersebut adalah tiga suku penting yaitu suku Sough, Wamesa dan Kuri. Orang lain/pendatang (Jawa, pengacau, Toraja, dll). Sedangkan mata pencahariannya meliputi nelayan, petani, berburu dan memanen. Pandangan tradisional dan kearifan masyarakat adat tentang sumber daya alam. Hutan adat kawasan CATB memiliki fungsi ekonomi dan sosial, sumber kehidupan, sarana penghubung hubungan sosial antara masyarakat satu suku dengan suku lainnya, tanah dan hutan merupakan “rumah” masyarakat. Masyarakat sekitar CATB percaya bahwa tempat-tempat tertentu masih dianggap keramat (tempat pamal), yaitu Jer, jok atau yomes. Sebagian dari kearifan tradisional masyarakat adalah pengambilan karaka tidak mengambil seluruh jumlah kepiting bakau (karaka) dalam satu lobang (lobang) dan mengambil/memanen hasil kayu sagu dengan mencari yang sudah tua/matang. Fungsi dan Manfaat Kawasan (CATB) merupakan fungsi ekologis dimana mangrove menghasilkan limbah (detritus). Limbah mangrove terurai menjadi nutrisi terlarut yang dapat langsung dijadikan makanan oleh fitoplankton, ganggang atau tanaman mangrove, ikan, udang dan kepiting. Fungsi ekologis pohon mangrove adalah tempat pembibitan, makanan dan pemijahan bagi berbagai organisme air. Selain itu, kawasan CATB juga merupakan habitat tempat berkembang biak dan hijauan pakan penting. Pola interaksi dan pemanfaatan masyarakat lokal terhadap sumber daya alam kawasan CATB merupakan tempat menangkap dan mengumpulkan berbagai hasil perikanan, kayu bakar sebagai bahan baku, perkakas, bahan bangunan rumah, perlengkapan perahu tradisional, tiang pagar. aktivitas penangkapan ikan. yang secara lokal disebut "pole bello". Secara khusus tanaman enau juga dimanfaatkan oleh masyarakat, dimana pucuknya diambil sebagai bahan makanan, ijuk digunakan untuk membangun atap dan bubungan, pelepah kupas digunakan untuk mengikat pagar dan membuat tiang rumah dan tali busur. Tumbuhan nipah dimanfaatkan untuk makanan/minuman, bahan bangunan (seperti atap dan dinding rumah), obat-obatan, energi, peralatan perahu tradisional, dan kerajinan tangan. Total nilai ekonomi ekosistem mangrove adalah Rp. 18.318.895/ha/tahun, nilai keuntungan langsung adalah Rp. 3. 25.980/ha/tahun (18,70%) dan manfaat tidak langsung sebesar Rp. 1 .892.915/ha/tahun (81,30%). Nilai manfaat langsung (aktual) sekitar Rp 3 9.260/ha/tahun (1,91%) dan nilai potensi manfaat langsung (kayu dan serpihan kayu) adalah Rp. 3.076.720/ha/tahun (16,80%). Kalaupun potensi manfaat langsungnya lebih besar, ketika nilai ini digunakan akan menghancurkan nilai manfaat lain, terutama nilai manfaat tidak langsung (jasa lingkungan), serta mengurangi atau bahkan menghancurkan nilai manfaat langsung (nyata). dikenal masyarakat sampai sekarang. Dapat disimpulkan bahwa kegiatan dan manfaat (CATB) begitu besar terutama bagi masyarakat sekitar, sudah selayaknya semua pihak segera mengambil langkah konkrit untuk melestarikan kawasan CATB, dan mengingat luasnya yang ada saat ini. kegiatan dan manfaat, generasi juga harus merasakan.
2005-08-30T00:00:00ZTUMBUHAN BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER BAHAN PENGAWET KAYU DI SEKITAR KITA
http://repository.unipa.ac.id:8080/xmlui/handle/123456789/2663
TUMBUHAN BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER BAHAN PENGAWET KAYU DI SEKITAR KITA
Abdul Azis
TUMBUHAN BERPOTENSI SEBAGAI
SUMBER BAHAN PENGAWET KAYU DI
SEKITAR KITA
2024-01-30T00:00:00ZConservation Policy, Indigeneity, and Changing Traditional Hunting Practices in West Papua
http://repository.unipa.ac.id:8080/xmlui/handle/123456789/2657
Conservation Policy, Indigeneity, and Changing Traditional Hunting Practices in West Papua
Sepus M. Fatem, Yubelince Y. Runtuboi, Micah R. Fisher, Yafed Sufi,Ahmad Maryudi, Nurhady Sirimorok
Regional governments are increasingly developing conservation policy initiatives that are framed alongside the empowerment of Indigenous Peoples. This paper examines the case of Tambrauw, West Papua, that set out to establish one of the first ever Conservation Regencies in Indonesia. To understand the implications of conservation policy developments, we explored from an environmental justice perspective the ways that one of the most important forest-based activities of local communities – hunting – has changed in recent years. Data was collected using qualitative methods of participatory observation and interviews between 2015-2018 across three Tambrauw districts. The study shows how policy changes are increasing clashes between local hunters and conservation officials. This has implications for broader issues of conservation policy and local livelihoods, and sheds light on the more recent trend of foregrounding Indigenous identity in forest management. Although on the face of it the emergence of conservation regencies represents a trend in downscaling authority to empower local communities, findings shows that place-based and more locally responsive policies need to be established to address emerging conflicts that can also meet broader conservation outcomes.
2023-09-21T00:00:00ZDinamika Kebijakan dan Aktor dalam Pembentukan Papua Barat Sebagai Provinsi Konservasi
http://repository.unipa.ac.id:8080/xmlui/handle/123456789/2656
Dinamika Kebijakan dan Aktor dalam Pembentukan Papua Barat Sebagai Provinsi Konservasi
Sepus M. Fatem1, , Ade Olyvia Samber, Jonni Marwa, dan Melanesia B. Boseren
The designation of West Papua Province as a conservation province in 2015, then changed to a sustainable
development province in 2019 through a long process from the initiation stage to the declaration created a dynamic.
Policy of conservation and/or sustainable development province involves a variety of actors with diverse roles but
share the same vision and mission. This condition creates dynamics that are important to be researched and
understood. This study aims to (i) understand and analyze the dynamic process of the formation of conservation
and/or sustainable development provinces, (ii) identify the actors involved in the process of forming conservation
and/or sustainable development province, and (iii) identify and analyze the roles of the actors involved.
Data/information was obtained through structured and open interviews using the snowball sampling method to
determine respondents. Based on the results of the analysis, the period of formation of provincial policies for
conservation and/or sustainable development was divided into 3 periods (I: 2010-2015 – Initiation & Declaration of
Conservation Province, II: 2016-2017: Legalization & Dynamics, III: 2018-2020: Consolidation & Provincial
Declaration of Sustainable Development). The actors involved in this process consist of governments (national and
regional) and non-governmental (national and international NGOs). Actors are grouped into 3 types, namely key
actors (initiators, namely local government and 3 NGOs), supporting actors (NGOs), and other actors (NGOs).
2023-09-12T00:00:00Z